Aku: Ya, aku adalah dirimu
Aku: Satu-kah kita?
Aku: Bagaimana menurutmu?
Aku: Menurutmu?
Sederetan titik-titik hitam putih tulisan asal
Aku ingin mencintainu penuh.
Aku ingin merindukanmu selalu.
Aku ingin meminum air matamu menumpahkannya dari mataku.
Aku ingin sakit dari sakitmu.
Aku ingin aromamu pagi pagi.
Aku ingin bibirmu.
Dulu.
Cintaku, apa kau pernah melihat kabut melahap gunung. Menghapus habis tiap lekuk tubuhnya.
Mengkaburkan semua yang ada di depan mata.
Mereka bahkan melahap lautan. Menyesatkan kapal kapal di cakrawala. Menghilangkan harapan, sayang.
Aku ada disini masih disini, tak pernah meninggalkanmu hanya saja kabut sedang melahapmu.
Membatu.
Ingatlah sepasang bibirku sayang.
Mengapa perasaan ini begitu berisik.
Meminta ini meminta itu.
Aku tak tahu bagaimana harus menenuhinya.
Apa harus aku ambilkan bulan di ujung angkasa.
Menyelam di dasar laut nan luas.
Berenang di kawah kawah gunung nusantara.
Aku tak tahu.
Aku takut.
Aku bingung harus membawakan cinta ini kepada siapa.
Apa harus aku berkilau layaknya kilat di langit atau menggelegar seperti guntur di atas sana.
Agar kau sadar betapa rindu nafas ini akan tawamu.
Harus bagaimana lagi...
Aku tak merasakannya seperti dulu kasihku.
Namun aku merindukannya.
Aku masih ingat helai rambutmu di celah jemariku gugur.
Seperti waktu yang hangat.
Singkat, begitu memikat.
Hujanpun punya tempat dalam lemari, tentang riang kita berdua didalamnya.
Hingga kau begitu jauh, melompat dari lemari lemari.
Dari celah celah jemari belai rambutmu hening.
Hanya ketiadaan.
Langkah bukan masalah belakang atau pun depan
Bukan keriuhan masa lalu
Bukan pula tentang kenangan yang akan datang
Tapi langkah adalah kepastian dan harapan jati diri kita sebagai manusia
Lalu kemana kakimu melangkah my love